22 Januari 2009

coba-coba

saya coba-coba untuk benar.....

06 Januari 2009

Aku Mau

berdiri di sini bagai duri diterkam api..

aku bagai taklekang diamuk zaman.

tapi,

takakan kukira mereka menyangka.

menyangka.

menyangka dan menyangkal yang ada pada semua.

semua seperti mimpi bagai buah bintang yang mengalun lembut

tapi menikam.

aku padamkan cahya kelam itu,

untuk kembali dapat hadir di bumi ini.

aku senang berjalan.

bagai tepi yang aku sendiri sudah tahu berujung

aku gemetar dan gemetar kembali.

aku takbisa bangun.

bintang itu semakin hangat di dadaku dengan tikam dan terkamnya.

29 Desember 2008

Gadis Pantai : Luar Biasa!

III. Roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer

Luar biasaaa..!! Ups..he he.. Roman ini benar-benar keren (Lebaaayyy).. tidak usah melihat dulunya Pram tuh siapa dan gimana, tapi nikmati aja sesuatu yang sudah dia tulis.. meskipun masih ada satu pertanyaan dalam diri nca : kenapa Pram mau masuk Lekra? Yup, siapa yang bisa jawab dengan subjektif (atau bahkan objektif.?)

Pemilihan sampul buku yang memperlihatkan seorang wanita Jawa dengan sanggul rapih, berbaju kebaya hijau agak awut-awutan, memakai dua gelang di dua belah tangannya, dan memakai kain dengan rapih, semua itu terusik dengan penggambaran mata yang kosong dan tangan kiri dari perempuan tersebut memegang stagen berwarna oranye. (soal warna, saya tidak akan membahasnya karena saya tentu tidak mempunyai perangkat untuk mengetahui simbol dari warna-warna tersebut) Mata yang kosong memfokuskan diri kepada pembaca bahwa sebuah gelungan sanggul yang rapih dengan kalung yang menghias leher dan anting-anting emas yang terpasang di daun telinga tidak akan membuat seorang perempuan menjadi senang hatinya (hlm.53) malah takut untuk menggunakan dan memunyai emas-emas tersebut.
Pengarang mengangkat tokoh perempuan menjadi seorang perempuan yang mengalami kesedihan nasib yang amat sangat. Di mulai dengan dipersunting dengan (hanya) sebuah keris (hlm.12) sampai harus rela meninggalkan anak yang dilahirkannya dan diusir (diceraikan) oleh Bendoro (hlm. 256). Pram tidak ingin memperlihatkan seorang perempuan yang mempunyai kekuatan fisik dan mental yang melebihi batasnya seorang perempuan, tetapi Pram hanya menyajikan sebuah realitas kekuatan perempuan sebagai seorang manusia yang mempunyai akal dan jiwa.
Gadis Pantai digambarkan baru berumur 14 tahun ketika disunting oleh Bendoro. Dengan memberikan umur yang sedemikian muda, Pram ingin memperlihatkan betapa kebobrokan sistem feodalisme Jawa yang kental dengan kasta (tingkatan kehormatan terhadap sebuah kelompok) yang dapat dengan mudah mempersunting (mengambil) seorang manusia dan dijadikan seorang percobaan.
Pasir di bawah itu terasa lunak dan buyar kena tendangan. Pohon mangga tertanam berderet seperti serdadu, sedang pohon-pohon pisang yang merana berbaris menepi pagar, seperti tahu akan kekecilannya. (hlm. 40)
Pada paragraf itu, Pram memetaforakan seorang Bendoro sebagai pohon mangga dan Gadis Pantai sebagai pohon pisang. Pada metafora inilah, pengarang memperlihatkan bahwa seorang Bendoro yang sangat ditakuti hanyalah sebuah pohon mangga yang besar tetapi tidak mempunyai manfaat sebanyak pohon pisang yang (meskipun) digambarkan merana berbaris tetapi ia dilukiskan mampu mengelilingi pagar yang berarti mampu menjadikan dirinya bermanfaat untuk orang banyak.
Teror yang dirasai Gadis Pantai memang teror takbertuan. Maksudnya adalah pembaca tidak bisa menyalahkan tokoh Bendoro terhadap ketakutan yang dialami Gadis Pantai karena diperlihatkan bahwa Bendoro tidak pernah menyakiti Gadis Pantai. Akan tetapi, yang membuat semua terror ini adalah memang system feodalisme yang menyebabkan Pram dapat mengatakan ada orang atasan dan ada orang kebanyakan. Teror inilah yang tidak terlihat dan tidak tersentuh oleh manusia. Sampai-sampai tokoh Gadis Pantai digambarkan seperti seekor ayam yang direnggut dari rumpunnya (hlm. 46).
Saya setuju dengan pendapat Ignas Kleden, bahwa Pram memperlihatkan kepiawaiannya bergelut dengan perasaan seorang perempuan. Dialog-dialog yang dibangun antara tokoh Pelayan Tua dengan Gadis Pantai mengalir sebagai dialog yang hidup. Gadis Pantai dapat merasakan dirinya sebagai seorang perempuan, seperti pada saat Pelayan Tua menceritakan tentang kakeknya dan Gadis Pantai dengan leluasa memberi komentar sesuai keinginan hatinya (hlm. 57). Sedangkan percakapan antara tokoh Gadis Pantai dengan Bendoro dirasa tidak mempunyai jiwa dialog tersebut, seperti ketika Gadis Pantai mencoba menyerahkan anaknya tetapi dengan penuh penekanan (dan tanpa belas kasihan) Bendoro menyuruhnya untuk menaruh anak itu ke ranjang. Perbedaan perlakuan dialog antara tokoh perempuan dan laki-laki di dalam roman ini seperti ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa Pram sebagai pengarang ingin sekali mencoba memaknai sosok perempuan yang sering atau sudah menjadi korban kefeodalan sosok laki-laki (Bendoro dalam roman ini).

Goenawan Mohamad : Atlas!

II. Puisi Dingin taktercatat karya Goenawan Mohamad

Analisis nca yang satu ini, teoretis banget! He he… entah kenapa nca seneng banget heuristik dan hermeneutik! Suatu kajian yang benar-benar harus menggunakan ketelitian untuk bisa membaca sebuah puisi dengan benar (tapi gak menjadi patokan bahwa analisis nca ini bener..he he. Subjektif adalah kunci analisis, tapi harus juga liat konvensi yang ada, gak asal ajah.)

Dingin tak tercatat

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja

di sana. Seakan-akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna.

Tuhan, kenapa kita bisa
Bahagia?

1971

I. Pembacaan Heuristik
Dalam pembahasan ini karya sastra dibaca linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas. (Pradopo, 2005 : 269)

(rasa/keadaan) dingin (yang) tak tercatat / pada (alat) termometer// kota hanya (di)basah(i)//(hembusan) angin (di) sepanjang sungai/ (seperti) mengusir, tapi kita tetap saja (berada) di sana. Seakan-akan / gerimis (yang telah) raib / dan (seperti) cahaya (yang) berenang // mempermainkan warna (-warna) // Tuhan, kenapa kita (manusia) bisa (merasakan) bahagia ?//

II. Pembacaan Retroaktif Atau Hermeneutik

Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak itu belum tertangkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sistem semiotik tingkat kedua, sebagai berikut,
Judul ”dingin tak tercatat” adalah tanda bagi suatu keadaan yang tidak dapat dicatat atau dihitung.
”Dingin tak tercatat pada termometer” menjadi metafora bagi suatu keadaan yang tidak bisa diukur. ”Kota hanya basah” menjadi metafora lanjutan yang berarti tempat yang menjadi pusat suatu daerah, di dalam puisi ini dapat dimaknai mata yang mengeluarkan air mata (kota hanya basah). Dengan bantuan (Angin) air mata itu bisa dihapuskan (sepanjang sungai mengusir), tetapi ada keengganan dari pelaku/tokoh untuk keluar dari masalah yang membuat air mata tersebut (tetapi kita tetap saja di sana). Kalimat tersebut dianalogikan dengan air mata yang lama-lama mengering (gerimis raib) dan berganti dengan kesenangan dengan permasalahan yang ada (dan cahaya berenang mempermainkan warna). Lalu, diakhiri dengan pertanyaan kepada Sang Pencipta (Tuhan) tentang kebijakannya memberi rasa bahagia sebagai metafora dari kesenangan orang (kenapa kita bisa bahagia?).
Dapat disimpulkan melalui pendekatan heuristik dan dilanjutkan dengan pembacaan hemeneutik bahwa puisi Goenawan Mohamad yang ditulisnya pada tahun 1971 ini adalah puisi yang mempertanyakan tentang kebahagiaan yang lebih disenangi manusia. Goenawan memulainya dengan diksi ”dingin” yaitu keadaan bersuhu rendah dibandingkan dengan suhu tubuh manusia : butuh sesuatu untuk menstabilkan rasa dingin tersebut, dengan memetaforakan bahwa keadaan tersebut tidak dapat diukur menggunakan alat : hanya dapat dirasakan saja. Klimaks dari puisi ini yaitu mempertanyakan pada Sang Pencipta kebahagiaan tersebut. Goenawan Mohamad hendak memperlihatkan bahwa tidak ada salahnya lebih dekat dengan air mata dan bermain dengan air mata tersebut yang tidak kalah mengasyikkan dengan kebahagiaan meninggalkan air mata itu sendiri.

Putu Wijaya : Luar Biasa!

I. Aduh karya Putu Wijaya (Drama)

Pengarang tidak memerlukan nama pemain dan juga tidak memerlukan kelengkapan latar, dari tokoh yang diberi nama salah seorang, pengarang dapat lebih menghidupkan makna simbolik dan imaji pembaca naskahnya. Munculnya citraan dari masing-masing tokoh membentuk satu jalan cerita yang apik.
Salah seorang : ya, tapi tidak kebetulan, dia sengaja!
Salah seorang : jangan-jangan mau menipu lagi seperti yang sudah-sudah!
Salah seorang : sst, jangan begitu!
Salah seorang : iya. Ayo buat apa memanjakan dia!
Salah seorang : ini’kan orang sakit, kok memanjakan bagaimana?
Salah seorang : bisa jadi dibuat-buat seperti yang sudah-sudah itu!

Petikan dialog tersebut terjadi antara 2 tokoh yang saling bertentangan dalam menghadapai satu hal. Salah seorang yang pertama meyakinkan bahwa orang sakit itu hanya pura-pura. Akan tetapi, salah seorang yang kedua berusaha meyakinkan bahwa orang itu benar-benar sakit. Drama akan menjadi indah jika banyak terjadi permasalahan di dalamnya. Kedua tokoh ini seperti mengulang tragedi yang sudah pernah mereka rasakan. Mereka seakan harus beradu mulut kembali untuk menentukan jalan keluar satu masalah yang sudah pernah dialami. Jika ini merupakan refleksi sifat manusia, dapat dikatakan memang seperti ini. Banyak orang yang suka sekali mempermasalahkan sesuatu yang sudah pernah dialami sebelumnya.
Cerita bergulir dengan pencarian makna bijaksana antar tokoh. Bijaksana menjadi kata atau simbol yang meneguhkan sifat seseorang yang harus menggunakan akal budinya untuk menolong orang lain. Tetapi seiring pengembangan cerita, salah seorang yang lain tetap berusaha meyakinkan bahwa orang itu tidak benar-benar sakit. Dalam adegan inilah refleksi sifat manusia yang sebenarnya ingin menjadi makhluk sosial tetapi terjebak dengan permainan kata orang lain sehingga tertundalah menjadi bijaksana.
Sesudah melewati klimaks cerita, nama-nama yang disematkan tentu saja mempunyai makna yang tidak lepas dari refleksi jiwa manusia. Putu Wijaya tidak memberi nama yang susah untuk dilafalkan. Ia hanya mengambil sifat dari tokoh yang dibangunnya, misalnya tokoh Pemimpin. Seorang pemimpin seharusnya sosok yang disegani, dihormati, dan selalu menjadi yang terdepan dari setiap persoalan kelompoknya. Tetapi pada cerita ini, pengarang berusaha memperlihatkan kritik tajam sifat manusia yang di/me-labeli dirinya pemimpin tetapi tidak mempunyai jiwa kepemimpinan. Tampak dari dialog tokoh pemimpin kepada tokoh yang lain di bawah ini :
Pemimpin : Ayo Saudara-saudara, jangan bermalas-malas. Mari garap! Tanggung jawab di tangan kita. Mulai saat ini pimpinan dan komando ada di tangan saya. Saya di tengah, mari kita garap!
Terdapat juga tokoh Yang Simpati, tokoh yang berusaha menunjukkan rasa simpatinya terhadap orang itu tanpa bisa untuk membantu semaksimal mungkin, Yang Kesurupan, tokoh yang dirasuki roh orang itu (tokoh ini muncul –mungkin- karena pengarang masih memercayai adanya hal-hal tersebut), Pemilik Balsem, tokoh yang memberikan pertolongan dengan media balsam yang dapat meringankan ‘beban’ tokoh-tokoh yang lain, Perintis, tokoh yang memberikan sebuah solusi/sebuah jalan (dalam makana denotasi) tetapi tidak menjadikan permasalahan selesai, Yang Marah, tokoh yang mempunyai sifat pemarah, Yang Iri, tokoh yang mempunyai rasa iri yang tinggi karena tidak bisa melakukan apa-apa selain iri terhadap tokoh lain, Wakil, Salah Satu, Yang Makan, Pengusut, Salah Satu, dan Salah Seorang, yang semuanya itu hanya menjadi nama yang merefleksikan sifat manusia sebenarnya yang kompleks , penuh masalah, dan beragam.

Kunci untuk drama ini adalah Pemimpin. Jika ingin menganalisisnya, (pastikan) jangan lupa untuk mencari literatur tentang pemimpin.

tiga tugas?

Pada semester VII ini, nca harus bergulat dengan puisi, cerpen, novel, bahkan drama. Semuanya dibahas pada mata kuliah kapita selekta karya utama. Huff..tugas yang berat ketika nca sedang berada dalam titik kejenuhan (ingin tidak membaca apapun) tetapi Alhamdulillah semua sudah selesai dikerjakan meskipun masih banyak kelonggaran yang salah (he he..) di dalam tugas-tugas nca ini. Nca memasukkan tulisan yang menurut nca dapat dipakai sebagai contoh analisis (menurut nca, he he..) tidak peduli tulisan ini berguna atau tidak : selamat menikmati..

21 Desember 2008

sesuatu yg sulit

Tidak usah

kesan ini akan mengalir jauh melebihi batas nalarmu, sayang.
Kau bagai dilumat makna.
Takjarang pula kau mengaduh untuk memberi efek jenuh pada takdirmu.
Saya
mencoba membumbui arti takdir kita dengan baluran kata.
Jadi
Kau
juga harus menghormati setiap sayatan itu satu-persatu

Saya takmenyangka kau begitu gundah mempertahankan semua.
Bermula dengan isapan jari sampai kau harus benar-benar menguliknya.

Saya bodoh. Mempertajam sayat dengan lidah.
Tapi kau lebih bodoh! Mempermainkan lidah itu dengan kepak angsa..

22-08

Sendiri

Awalnya bola api itu tidak menggelinding mesra,
Ia hanya berjalan tertatih dengan semangat memakan manusia
Seluruhnya.

Awalnya, perjalanan tertatih itu mengobarkan mesra dalam tumbuk hatinya.
Ia mrmikirkan cara yang lebih suram dari segala.
Musnahkan.

Akhirnya, ia tahu semua percuma.
Karena
Sendiri.

22-08

3.

Redup nelangsa peri hati
Tak ikut marak disampai berang
Ketika bangga ada di sanubari
Tak pelak pasti dinanti orang

22-08

Bantuan

”jangan perkosa saya, Tuan.”
Wanita itu cukup gagah dengan baluran bingkai berwarna jingga
”saya takpeduli. Saya bukan Tuanmu.”

”jangan hina saya, Tuan.”
Seketika itu saya jambak lidahnya dengan pisau yang terhunus.
”saya bukan Tuanmu. Mintalah pada Tuhanmu.”
Wanita itu berkomat-kamit entah, mungkin melagukan sepiring nasehat untuk Tuhan.

Ia butuh bantuan.

22-08